Sunday, June 24, 2012


“Solusi Menjadi Guru Matematika dalam Implementasi Design Pembelajaran
pada Negara Berkembang”

            Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara berkembang. Sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang mencari bentuknya atau jati dirinya, akan dibawah ke arah mana perkembangan atau pembangunan negara ini. Tentu hal itu berbeda dengan Amerika yang sudah menemukan bentuknya atau sudah establish.
            Menurut Pak Marsigit di dalam perkuliahannya, sesuatu (baik negara, perusahaan, lembaga maupun perseorangan) yang sedang mencari bentuknya mempunyai ciri – ciri, antara lain:
1.      Tidak stabil.
2.      Belum begitu pasti jika dilihat dari sisi hukumnya.
3.      Berorientasi jangka pendek.
4.      Mempunyai sifat yang tergesa-gesa.
5.      Fenomena yang ada sering sekali muncul dan hilang tetapi sulit untuk dijelaskan.
6.      Skema yang sering berubah-ubah.
7.      Program-program bersifat tidak holistik atau parsial menurut golongan seperti kesukuan, partai politik dll.
8.      Tidak profesional.
9.      Berorientasi pada pragmatism.
10.  Berorientasi pada hal – hal yang bersihat sementara.
11.  Antara unsur yang satu dengan yang lainnya tidak komperhensif bahkan kontradiktif.
12.  Belum “sehat”

Sehingga itu menjadi rentan atau tidak stabil. Tetapi untuk para pendidik ataupun calon pendidik (guru maupun dosen), keadaan demikian dapat menjadi tantangan dan kesempatan/peluang. Mengapa demikian? Karena sebenarnya disitulah sebenar – benarnya tempat digalinya ilmu. Ilmu pengetahuan berawal dari permasalahan.
Adapun kaitannya dengan implementasi design pembelajaran adalah terletak pada hakekat guru yang bersifat multidimensi (sesuai dengan teori konstruktivisme). Tetapi di lain sisi masih ada pihak yang menganggap bahwa guru hanyalah aparatur negara yang melaksanakan program – program pemerintah dalam bidang pendidikan.
Kedudukan guru disini adalah bagian dari sistem pendidikan (kebijakan pemerintah). Jadi ketika sistem tersebut tidak memberikan peluang atau kesempatan untuk guru mengembangkan akademik berdasarkan yang dikehendakinya maka akan sulit. Hal ini terlihat dari hasil penelitian bahwa guru sekarang ini hanyalah sebagai pelaksana yang tidak memerlukan kegiatan meneliti dll. Karena tuntutan dari sekolah dan masyarakat adalah guru dapat membawa siswa untuk lulus Ujian Nasional dengan baik (Ujian Nasional Orientied). Sehingga dapat ditemukan ada beberapa keala sekolah yang melarang gurunya untuk tidak mengikuti kegiatan seminar dan sejenisnya karena dianggap tidak memberikan manfaat yang signifikan untuk UN. Hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah bersifat pragmatism atau hanya UN orientied. Sehingga hasilnya pun kita menciptakan murid yang hanya sebagai pelaksana bukan seorang pembangun.
Jika hal itu dikembalikan kembali pada guru, maka hanya akan ada 2 pilihan. Apakah guru tersebut akan mengajar tergesa-gesa dengan orientasi Ujian Nasional. Atau membelajarkan dengan cara yang inovatif dan dapat membangun pengetahuan siswa (konstruktivisme). Hal ini sangat berbeda dengan pendidikan di Inggris dimana pembelajaran dengan orientasi students center yang membangun pengetahuan siswa. Karena ketika di dalam kelas maka disitu lah otoritas guru mau metode pembelajaran seperti apa yang akan diterapkan di kelas.
Dalam hal implementasi design pembelajaran pada sistem pendidikan kita yang sekarang yaitu KTSP. Guru yang mengerti akan kurikulum dan design pembelajaran yang termasuk pengembang kurikulum menyusun design pembelajaran. Jadi implementasi design pembelajaran bersifat ontologis.

“How To Implement Design Instructional Into Inovatif Teaching Learning Of Mathematics”

            To explore the philosophical foundations of design development, to extend our visim, if we compare it with the philosophy of education so if that education is it characters stop to educational figure, if that philosophy, then the characters stop to philosophy figure.
            Emmanuel Kant's statement "if you want to see the world, then behold your intellect and mind" that means the world is none other than your own mind. Then we use the analogy to the mathematical world of mathematics is none other than your own mind. If students want to study mathematics then peek at the student's mind about math. So teachers have to look at the student's mind if you want to teach math. It is then a problem of Emmanuel Kant's statement, that is how far the teacher looked at students' thinking about mathematics. If we lower the world of science in education or psychology, it will be the theory of constructivism (Vygoski, Piaget, Paul Ernest). That means Emmanuel Kant has made ​​the development scheme of mathematics in students who are called schemata and use architecture word "to construct". By using the architecture word, we have a scheme of our mathematical knowledge from each other and are subjective or objective.
            Emmanuel Kant also defines mathematics as synthetic a priori. Formal mathematics is defined as the a priori nature of mathematics makes mathematics as a science that is coherent or consistent with one idea to another idea. According to the formalists, we can build a mathematical basis of the definition set out as a basic assumption, then become axioms, and theorems and find another new theorems. But according to Emmanuel Kant, before the formal mathematical founded, Emmanuel Kant (18th century) also have outlined that mathematics is synthetic. Synthetic is the nature properties of concrete objects or the law of cause and effect are attached to  concrete objects of experience. So Emmanuel Kant said that mathematics is a combination of logic and experience. Without the experience, the logic will not run, without the logic, the experience also is not run.
            The concept of constructivism are made ​​more concrete and more operational. The problem is how students construct their own mathematics while mathematics is the students' own self. And then came the problem is how our role as teachers facilitate students so students are able to build the world / character of its own. Character is not something given but something to be built by the students themselves. But teachers also have the prerogative rights in this case the teacher has the schema and the competence to create the conditions for students to build his own world. Because science will be more meaningful if obtained or discovery of herself through the experience and logic respectively.
            It is not easy to facilitate the students to be able construct their own knowledge because all things have dimensional, vertical and horizontal dimensions. In the framework of the implementation of innovative learning, then there is a class, lesson plans, syllabi, curriculum, paradigm, philosophy, etc.
            Viewed in terms of curriculum, so the problem is the curriculum as it is able to support the design facilitates learning in which students can construct their own math. The curriculum is divided into three, namely instrumental curriculum, individualized curriculum, and interactive curriculum. But if  the curriculum is divided into two so there are individual instrumental and curriculum / interactive.
            Instrumental curriculum is the curriculum in which is dominated by the spirit of implementing, achieving goals of the purpose of state both formally and operational  in education and considers the teacher as an instrument to achieve it. We can do the analysis and compare it with examples of which exist as it does in the partial state (usually former colonizer), developing countries that usually prefer to use the curriculum implementation or instrument because it is more easily reviewed or regulated by the government such as Indonesia.
            Paradigm of Instumental curriculum is the behaviorist or changes in behavior such as that implemented in Indonesia in 1975, it is highly behaviorist. In the government Orde Baru also instrumental curriculum is also very closely monitored by the government till everything was arranged by the government. Until Orde Reformasi, which occurred the tug between Orde Baru dan Orde lama, between container and content, between the local value and  global value, etc. that make it to a compromise - a compromise and the result are delamatis and contradictions. So KTSP is actually a contradiction because the label Education Unit Level Curriculum that should the curriculum but it turns out it contains nearly 80% of the content standards and content standards that comes from government or centralized curriculum. This could happen because of two lawsuits as a connector that can not be communicated so that everything can be accommodated. National Examination actually is an external examination which is characteristic of centralized curriculum.
            So if we want to create an instructional design that guarantees can facilitate students to be able to construct their own mathematics knowledge,  teacher should be smart to strengthen the content of the curriculum or the standards process. The more that can fullfill the standards in education then the better.
            So actually to build the country with a national curriculum, it will not work as it did in the Orde Baru dan Orde lama, but unfortunately Orde Reformasi have not been able to handle it. The problem in the implementation of this curriculum is the implementation of  National Examination. Because learning refers to the national exam do not need the theory to practice, but only work on the problems. But it can not build students own knowledge. So that a suitable curriculum to be able to develop an instructional design that facilitates students to be able to construct their own knowledge is individual / interactive curriculum and instrumental curriculum do not match with it. While the curriculum of individual / interactive underdeveloped in Indonesia because of the fear of an uprising that occurred as the effects of application of the individual / interactive. In the instrumental curriculum, the teacher's role is as a giver of knowledge. But if the curriculum of individual / interactive, teacher's role is as a facilitator of students.
            If viewed from the instrumental curriculum, Lesson Plan is uniform starting from the format until the components. If viewed from the curriculum of individual / interactive / innovative the Lesson Plan is belong to the teacher because of the Lesson Plan is the prerogative right of the teacher. Although there are basic components of the same ontology as its identity from the school's name, course name, teacher's name. But for components such as standards of competence, basic competence or outcome is left to the teachers want to use which. Learning stategy, method of learning and assessment are belong to the teacher. Of particular interest is how far the Lesson Plan is to ensure to facilitate the students to be able to construct their own knowledge. Lesson Plan also be kontextual the Lesson Plan should be different at each meeting. The Lesson Plan is used to control the good or not, can be done naturally by looking at graduates of the school or school quality.
            During the student worksheets teachers can buy it for that instead of student worksheet. But just a collection of student worksheet is a matter for each year kontextual which must be different because of differences in time so that differences in implementation. Student worksheet for the curriculum is simply a collection of instrumental but for learning about innovative student worksheet is a medium that is able to facilitate students to construct their own mathematics through innovative worksheet.Innovative learning is not learning the same two because of the time difference so that the implementations is different.
            How to construct mathematical knowledge:
1.      To breakdown the procedur into the component.
2.      The rasional of each components.
3.      The contribution each components.
4.      The relationship among the components.
5.      Herarki stucture of each goal components
6.      The direct logical implecation to the conclution.
            Student worksheet also lists their information  such as the extensive definition. Learning device is the Lesson Plan, student worksheet, and modules.
            Assesesment can be made into a portfolio. Portfolio can be divided into two, namely a portfolio compiled by the teacher and the portfolio is collected by the students. Differences in assessments that are authentic, classroom-based assessments and assessments that are formative, assessments are subjective or objective.

“ Landasan Inovatif dalam Pengembangan Design yang Inovatif ”


Riana Sinta Dewi (09313244022)
Refleksi
“ Landasan Inovatif dalam Pengembangan Design yang Inovatif ”

            Jika kita berbicara tentang kedudukan design dalam pendidikan matematika maka kita berbicara dua aspek yaitu kedudukan design dalam pendidikan dan kedudukan design dalam matematika. Kita akan membahas matematikanya terlebih dahulu daripada pendidikannya karena secara sejarah matematika terlebih dahulu daripada pendidikan dan matematika adalah ilmu dasar.
            Jika kita berbicara tentang kedudukan design dalam matematika maka kita harus terlebih dahulu mengetahui apa itu matematika. Matematika adalah olah pikir dan kedudukan itu berkaitan dengan dimensi. Disini terdapat dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal berkaitan dengan kedudukannya yang di atasnya apa dan yang di bawahnya apa. Sedangkan dimensi horizontal berkaitan dengan timeline atau waktu, ektensi dan kaitannya dengan yang lain. Jadi jika kita tingkatkan di atas matematika maka sebenarnya itu adalah olah pikir karena tidak ada matematika yang tidak tentang olah pikir atau dengan kata lain semua matematika pasti olah pikir. Tetapi olah pikir sendiri belum tentu matematika karena ada olah pikir yang tidak termasuk matematika seperti oleh pokir bisnis, politik atau secara ekstremnya disebut ilah pikir irrasional. Sehingga jika kita persempit matematika adalah olah pikir rasional. Namun jika kita extent kan maka matematika yang olah pikir itu belum mencakup semua matematika tetapi hanya sebagian saja. Hal itu dikarenakan matematika tidak hanya olah pikir tetapi pengaalaman juga. Jadi dapat disimpulkan bahwa matematika adalah interaksi terus menerus antara olah pikir/nalar dan pengalaman secara dinamik dan fleksibel dari masa lampau sampai sekarang.
            Di atas olah pikir adalah olah hati dan di atas lagi sudah tidak ada lagi karena manusia hanya mempunyai olah pikir dan olah hati. Secara bahasa analog, olah hati adalah olah spiritual atau olah agama tidak lain tidak bukan adalah olah ketuhanan dan olah ketuhanan tidak lain tidak bukan adalah keyakinan. Dan keyakinan absolut kebenarannya tidak terbantahkan. Bahasa analog adalah bahasa atas dari bahasa sindiran dll. Bahasa pikir maupun bahasa hati mempuyai essensi. Jika kita berbicara essensi berarti ada skemanya, ini juga merupakan bahasa analog. Bahasa analog adalah satu mewakili semua seperti grammar bahasa inggris, to talk to speak mempunyai arti yang sama.
            Subtansi dari matematika sama dengan subtansi dengan berpikir. Subtansi itu sama dengan hakekat, isi, objek. Objek pikir adalah segala yang ada dan yang mungkin ada. Yang belum kita ketahui adalah yang mungkin ada tetapi yang lain mengetahuinya. Contohnya adalah nama orang tua kita, bagi kita adalah yang ada tetapi bagi orang lain yang belum mengetahuinya merupakan segala yang mungkin ada. Tetapi jika telah mengetahuinya maka sudah menjadi ada baginya. Seperti itulah hakekat mencari ilmu.
            Unsur berpikir lainnya adalah wadahnya karena tidak ada objek tanpa wadah. Wadah bisa dikatakan sebagai metode. Sebenarnya wadah bisa dikatakan sebagai objek tetapi objek formal sedangkan isinya adalah objek material. Jadi matematika bisa dikatakan sebagai olah pikir yang perangkatnya isi/obyek dan metodenya.
            Obyek yang kita pikirkan mempunyai dimensi ruang dan waktu. Dari sisi ruang dan waktu, maka obyek yang kita pikirkan ada di luar pikiran. Dan semua hal yang berada di luar pikiran kita bersifat tidak sempurna karena keterbasan pikiran. Kita tidak bisa menentukan obyek yang sempurna di luar pikiran kita karena kita tidak dapat memanipulasi ruang dan waktu. Jadi bagi orang – orang yang ingin berpikir maka jangan hanya berhenti (Plato). Kita bisa membuatnya menjadi di dalam pikiran kita melalui idealisasi dan abstraksi tetapi itu digunakan di pure mathematics.
            Namun pendidikan matematika berkaitan di anak –anak dan anak –anak tidak mampu melakukan itu. Mereka belum mampu berpikir abstrak tetapi mereka berpiir secara konkret dan kontekstual. Karena mereka hanya mampu berpikir dimana obyeknya berada di luar pikirannya. Jadi ilmu matematika itu obyek – obyeknya berada di luar pikiran (Aristoteles). Jadi Plato untuk matematika murni / formal sedangkan Aritoteles untuk matematika sekolah. Jika kita berbicara icebar maka plato ada di puncak dengan matematika formalnya sedangkan Aritoteles berada di bawah atau dasar dengan matematika kongkretnya.
            Metode berpikir dalam matematika adalah logika (apriori) dan pengalaman (sintetik) (Emmanuel Kant). Jadi membangun ilmu apapun membutuhkan nalar dan pengelaman yang berinterkasi terus menerus di dalam konteksnya untuk membangun ilmu pengetahuan. Begitu juga dengan membangun matematika atau konstraktivisme membutuhkan logika dan pengalaman. Pengetahuan bisa menjadi ilmu bila bersifat objektif, pengetahuan yang bersifat subjektif dapat bersifat objektif melalui interaksi yang dalam dunia pendidikan kita sebut sebagai small group discussion.
            Jika kita ingin membangun matematika maka tengoklah diri kita masing – masing karena matematika tidak lain tidak bukan adalah pikiran kita sendiri.
           



Nama   : Riana Sinta Dewi
NIM    : 09313244022

“ Pengembangan Design Instruksional yang Inovatif ”

            Jika kita berbicara tentang hakikat design berarti kita berbicara tentang dimensi karena segala sesuatu itu berdimensi. Hanya sejauh mana design itu berdimensi itulah yang menjadi persoalan sekarang. Lalu apakah Tuhan itu berdimensi? Apakah dalam menciptakan sesuatu, Tuhan membuat designnya terlebih dahulu? Iya, Tuhan membuat sesuatu dengan membuat designnya terlebih dahulu seperti Tuhan menciptakan bumi, tuhan membuat designnya terlebih dahulu hingga design itu cocok sehingga bumi aman untuk ditempati manusia. Lalu apakah kita membuat design sebelum membuat rumah? Iya. Apakah kita membuat design sebelum memasak? Tidak. Apakah kita membuat design dalam memmbuat makalah? Tidak karena kita membuat makalah secara intuitif. Berarti secara orang awam, kita dapat menyimpulkan bahwa design itu rancangan, model.
            Jika kita berbicara tentang design pembelajaran, maka pertanyaannya adalah apakah sembarang design pembelajaran dapat digunakan pada semua pelajaran? Apakah design pembelajaran matematika sama dengan design pembelajaran fisika? Tidak. Maka dapat disimpulkan bahwa design pembelajaran adalah kerangka melaksanakan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang ada. Oleh karena itu, design pembelajaran itu bukan sesuatu yang murni tetapi memiliki prasyarat seperti kurikulum, sistem pendidikan, teori – teori kependidikan, idelogi,  filsafat pendidikan.
            Apakah design pembelajaran itu dibutuhkan? Karena dalam keadaan normal guru-guru tidak membuat design. Lalu siapakah yang membuat design pembelajaran matematika di negeri ini? Pengembang kurikulum. Pendidikan yang inovatif memposisikan guru sebagai pengembang tetapi sayangnya guru – guru yang ada sekarang belum berlaku sebagai pengembang   karena guru – guru masih memposisikan kegiatan pembelajaran sebagai rutinitas. Oleh karena itu design tidak dibutuhkan oleh guru kita tetapi diperlukan oleh pengembang. Lalu kenapa guru kita tidak membutuhkan design? Hal itu dikarenakan pembelajaran di Indonesia masih tertuju pada Ujian nasional sehingga sistem pembelajaran kita lebih berorientasi pada Ujian Nasional. Sebenarnya dengan diselenggarakannya UN banyak sekali persoalan yang ditimbulkan diantaranya persoalan pedagogik. Contoh persoalan pedagogik adalah proses pembelajaran lebih ditekankan pada pengerjaan soal. Oleh karena itu terjadinya kontradiksi disini karena dengan hanya mengerjakan soal maka sisi konstruktivis atau membangun matematika hilang. 
            Menurut Pak Marsigit, design pembelajaran di Indonesia tidak berguna karena tidak membuat design pembelajaran juga seorang guru bisa mengajar. Hal ini disebabkan pembelajaran di Indonesia sangat sederhana karena hanya mengerjakan soal yang hanya membutuhkan buku pelajaran saja guru bisa mengajar atau bisa dikatakan pembelajaran di Indonesia masih bersifat tradisioanal/sederhana. Sehingga design pembelajaran di Indonesia masih bersifat cita - cita saja karena belum dilaksanakan secara praktiknya.
            Demikian juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh guru, guru di Indonesia membuat penelitian dikarenakan oleh kebijakan dari pemerintah, perintah dari kepala sekolah, untuk kenaikan pangkat, dll. Jarang sekali guru yang melakukan penelitian dikarenakan untuk pembelajaran yang lebih baik. Hal ini sama halnya dengan membuat design. Karena tanpa melakukan penelitian, guru dapat melaksanakan pembelajaran karena pembelajaran yang terfokus pada UN.
            Adapun faktor-faktor / unsur - unsur dalam design pembelajaran adalah kurikulum yang dijabarkan dalam bentuk standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, metode pembelajaran, alat bantu pembelajaran, assessment, evaluasi, komponen proses. Jika kita berbicara design sebagai suatu sistem maka harus ada input, proses, dan output. Tetapi yang terpenting disini adalah bagaimana design pembelajaran menjamin siswa untuk dapat mengkonstruksi pemikirannya sendiri atau pembelajaran yang inovatif. Tetapi sayangnya ada kesenjangan antara design pembelajaran dan pelaksanaannya terutama apabila ada anggapan bahwa design tidak dibutuhkan.
            Untuk menguji design atau mengembangkan design dapat dilakukan dengan mempelajari design – design yang sudah. Dan dengan menggunakan logika dan pengalaman kita, kita menguji apakah design – design itu sudah mencerminkan teori kependidikan yang inovatif dan menjamin adanya proses pembelajaran yang inovatif.
            Peran teknologi dalam design adalah membuat sketsa, mengidentifikasi komponen – komponen, meletakkan hubungan antara komponen satu dan komponen lainnya sehingga bersifat logis, realistis, dan fleksibel dalam melaksanakannya. Bukannya teknologi dalam membuat design tetapi teknologi sebagai salah satu komponen design dimana guru dapat membuat design untuk memajukan teknologi untuk pembelajaran.
           
           


















Oleh Marsigit

Keinginan siswa:
-          Pelajaran matematika yang menyenangkan ,memberi semangat, dan bermanfaat. 
-          Pelajaran matematika yang  mudah dipelajari. 
-          Guru menghargai pengetahuan-pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa. 
-          Pelajaran matematika yang mempunyai keindahan, sesuai dengan norma dan nilai agama. 
-          Siswa  diberi kesempatan untuk berdoa sebelum pelajaran matematika dimulai. 
-          Menggunakan persoalan sehari-hari dalam belajar matematika.
-          Siswa menyenangi matematika dari dirinya sendiri bukan hasil dari paksaan guru. Dll

Kita dapat menyimpulkan bahwa siswa menginginkan pembelajaran yang inovatif yaitu pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang mereka dapat. Bukan pembelajaran yang tradisional seperti ekspositori yang mengungkung mereka.
            Menurut Pak Marsigit berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan guru agar guru mampu melayani kebutuhan siswa.
Paradigma- paradigma yang dibutuhkan agar guru mampu melayani siswa-siswa dalam  mempelajari matematika?
-dari transer of knowledge menjadi to facilitate
-dari directed-teaching menjadi less directed-teaching
-dari menekankan kepada teaching menjadi menekankan kepada learning
-dari metode tunggal menjadi metode jamak
-dari metode yang monoton menjadi metode yang dinamis dan fleksibel
-dari textbook oriented menjadi problem-based oriented
-dari UNAS oriented menjadi process-product oriented
-dari cepat dan tergesa-gesa menjadi sabar dan menunggu
-dari mewajibkan menjadi menyadarkan
-dari tanya jawab menjadi komunikasi dan interaksi
-dari otoriter menjadi demokrasi
-dari penyelesaian tunggal menjadi open-ended
-dari ceramah menjadi diskusi
-dari klasikal menjadi klasikal, kelompok besar, kelompok kecil dan individual
-dari guru sebagai aktor menjadi siswa sebagai aktor
-dari berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa
-dari mencetak menjadi menembangkan
-dari guru menanamkan konsep menjadi siswa membangun atau menemukan konsep
-dari motivasi eksternal menjadi motivasi internal
-dari siswa mendengarkan menjadi siswa berbicara
-dari siswa duduk dan menunggu menjadi siswa beraktivitas
-dari siswa pasif menjadi siswa aktif
-dari kapur dan papan tulis saja menjadi media dan alat peraga
-dari abstrak menjadi kongkrit
-dari inisiatif guru menjadi inisiatif siswa
-dari contoh oleh guru menjadi contoh oleh siswa
-dari penjelasan oleh guru menjadi penjelasan oleh siswa
-dari kesimpulan oleh guru menjadi kesimpulan oleh siswa
-dari konvensional menuju teknologi
-dari siswa diberitahu menjadi siswa mencari tahu
-dari hasil yang tunggal menjadi hasil yang plural


To Identify Design of Innovative Teaching Learning Process of Mathematics


Riana Sinta Dewi
09313244022
Reflection:
To Identify Design of Innovative Teaching Learning Process of Mathematics

            Mathematics is one of subjects in school. Mathematics that introduced in schools known as school mathematics. We need to differentiate mathematics and school mathematics because the level of thinking among children and adults differently.
            Cocroft  in Marsigit  the Characteristics of school mathematics according to Ebbutt and Straker (1995: 10-63) include:
- Mathematics as search activity patterns and relationships.
- Mathematics as a creativity that requires imagination, intuition and invention.
- Mathematics as problem solving activities (problem solving). 
- Mathematics as a tool to communicate. 
            Teach mathematics its not only transfer knowledge from teachers to students. Because students only get about teacher’s knowledge and it not contruct their own knowledge (traditional). So we need new paradigm that construct their own knowledge or we known as innovative teaching and learning process. From Mr. Marsigit lesson, the characteristic of innovative teaching of mathematics are:
-          Trust to students.
-          Help students to construct their own knowledge.
-          The role of  teacher is a facilitator.
             To design of teaching learning mathematics is not easy because we must think the various / type , ground , appropriate design , and contextual design.
            To identify constructivism teaching learning process, we need the spiritual, phlosophy, paradigm, theories, notion, and rules. From rules we can split into:
-          Culture, or in here we can say sisdiknas RI because we live in Indonesia.
-          System, now we use KTSP with Standart Competency and Basic Competency.
-          Design.
-          Organization or management.
-          Model
Model can be method or approach. Model or approach within a constructivist teaching and learning process should be able to build students' own knowledge.
            We can make innovative teaching learning with innovative tools in multimedia learning process, such as: Mspowerpoint, Astound Graphics and Flash Slide, Show Software, Macromedia, Flash Authorware, BPP I Learn and I Pass, Windows Movie Maker, Winampp, Macromedia Director, Adobe Acrobat Reader , mind map etc. To mathematics we can use Mspowerpoint, Macromedia, Adobe Acrobat Reader (Dr. Damodharan V. S. ACCA, AICWA and Mr. Rengarajan.V AICWA). I think if we can use that tools it will be more interractive and can construct student’s own thinking.


REFERENCES
·         Damodharan and Rengarajan. Innovative Methods of Teaching
·         Marsigit. Asumsi Dasar Karakteristik Matematika, Subyek Didik dan Belajar Matematika Sebagai Dasar Pengembangan Kurikulum Matematika Berbasis Kompetensi Di SMP



" Ethnomatematika dan Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Matematika"


Nama   : Riana Sinta Dewi
NIM    : 09313244022

" Ethnomatematika dan Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Matematika"

            Seiring berjalannya waktu, kita telah memasuki era globalisasi seperti saat ini dimana jarak bukanlah menjadi sebuah kendala lagi. Perkembangan dan perubahan pada berbagai aspek terjadi begitu cepat, termasuk pada aspek ilmu pengetahuan, teknologi, maupun sosial budaya. Ilmu pengetahuan
            Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia . 
            Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
            Adapun jika dilihat dari sejarah berdirinya bangsa Indonesia maka pilar sejarah terbentuknya bangsa Indonesia adalah
1.      Kekuasaan, hal itu terlihat dari banyaknya kerajaan yang berdiri di Nusantara ini pada jamannya. Dan sekarang kekuasaan tersebut identik dengan partai politik.
2.      Perdagangan, Indonesia sudah menjadi bangsa yang kaya akan perdagangan sejak dahulu kala. Dan sekarang hal itu mengindikasikan kekuatan ekonomi.
3.      Teknologi yang merupakan kekuatan industri.
            Pendidikan yang ada di Indonesia juga ditentukan oleh ketiga unsur tersebut yaitu kekuasaan, ekonomi, dan teknologi.
            Sedangkan menurut Pak Marsigit dalam perkuliahannya, karakter adalah dari siapa dan untuk siapa.
            Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.[Akhmad Sudrajat.2010]
            Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. 
            Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. [Akhmad Sudrajat.2010]
            Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
            Oleh karena itu pendidikan karakter juga dibutuhkan dalam pendidikan matematika. Ethnomatematika yang merupakan sebuah studi yang mengkaji hubungan matematika dan ethnic (budaya). Dan sebagaimana kita ketahui bahwa banyak sekali nilai – nilai budaya bangsa yang syarat akan pendidikan karakter yang baik seperti gotong royong. Ethnomatematika sendiri adalah sebuah karakter. Hal itu terlihat dari pembagian matematika. Ada yang bebas value atau lebih dikenal dengan absolut mathematics , pure mathematics, atau formal mathematics. Dan ada matematika yang mempunyai value, yang sesuai dengan teori socio-constructivism Paul Ernest atau sekarang dikenal dengan matematika sekolah.
            Ethnomatematika dapat diintegrasikan pada semua subjek dan dengan berbagai cara. Termasuk dan geometri dan aljabar apad tingkat dasar. Kita dapat mengimplementasikan ethnomatematika pada pembelajaran seperti pada RPP, students worksheet, alat peraga yang mempunyai unsur ethnomatematika.
            Demikian juga dengan pendidikan karakter. Kita dapat mengintegrasikan pendidikan karakter pada semua subjek dan dengan berbagai cara. Kita dapat memasukkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran seperti bekerja kelompok atau diskusi, presentasi dll. Oleh karena itu dalam pendidikan karakter dapat terlihat pada RPP yang dipergunakan.
            Berikut ini contoh RPP yang memuat unsur ethnomatematika dan pendidikan karakter di dalamnya.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Nama Sekolah             : SMP Negeri 1 Godean
Mata Pelajaran             : Matematika
Kelas, Semester           : VIII, 2
Alokasi Waktu             : 20 menit

A.    Standar Kompetensi :
Memahami sifat-sifat kubus, balok, prisma, limas, dan bagian-bagiannya, serta menentukan ukurannya.

B.     Kompetensi Dasar     :
Menghitung luas permukaan dan volume kubus, balok, prisma dan limas.

C.    Indikator                    :
1.      Kognitif
Siswa dapat menentukan luas permukaan kubus.
2.      Afektif
Karakter yang diharapkan:
-          Dapat dipercaya
-          Menghargai
-          Tanggung jawab individu
-          Tanggung jawab sosial
-          Adil
-          Peduli
3.      Keterampilan Sosial
Karakter yang diharapkan:
-          Bertanya
-          Memberikan ide atau pendapat
-          Menjadi pendengar yang baik
-          Kerjasama

D.    Tujuan Pembelajaran:
1.      Kognitif
Siswa dapat menemukan rumus luas permukaan kubus berdasarkan etnik, historical, dan kebudayaan di Candi Borobudur dengan alas Candi Borobudur yang berbentuk kubus sebagai modelnya.
2.      Afektif
Proses belajar mengajar berpusat pada peserta didik, dan peserta didik diberi kesempatan melakukan penilaian diri terhadap kesadaran dalam menunjukkan karakter.
·         Dalam proses pembelajaran peserta didik berlatih karakter dapat dipercaya ,diantaranya : jujur, mampu mengikuti komitmen, melaksanakan tugas yang diberikan, menjadi teman yang baik dan membantu orang lain.
·         Dalam proses pembelajaran peserta didik berlatih karakter menghargai , diantaranya: peserta didik memperlakukan teman/guru dengan baik, sopan dan hormat, peka terhadap perasaan orang lain, tidak pernah menghina atau mempermainkan teman/guru, tidak pernah mempermalukan teman/guru.
·         Dalam proses pembelajaran peserta didik berlatih karakter tanggung jawab individu, diantaranya: mengerjakan tugas yang diberikan, dapat dipercaya/diandalkan, tidak pernah membuat alasan atau menyalahkan orang lain atas perbuatannya.
·         Dalam proses pembelajaran peserta didik berlatih karakter tanggung jawab sosial, diantaranya: mengerjakan tugas kelompok untuk kepentingan bersama, secara suka rela membantu teman/guru. 
·         Dalam proses pembelajaran peserta didik berlatih karakter adil, diantaranya: tidak pernah curang, tidak menyontek hasil kerja peserta didik/kelompok lain, bermain/berbuat berdasarkan aturan, tidak pernah mengambil keuntungan dari yang lain.
·         Dalam proses pembelajaran peserta didik berlatih karakter peduli , diantaranya: peka terhadap perasaan orang lain, mencoba untuk membantu teman/guru yang membutuhkan.
3.              Keterampilan Sosial
Proses belajar mengajar berpusat pada peserta didik, dan peserta didik diberi kesempatan melakukan penilaian diri terhadap kesadaran dalam menunjukkan karakter.
§   Dalam proses pembelajaran di kelas, diskusi kelompok/kelas, peserta didik berani bertanya apabila ada hal yang kurang dipahami.
§   Dalam diskusi kelompok/kelas, peserta didik aktif  memberikan ide atau pendapat .
§   Dalam proses pembelajaran di kelas, peserta didik dapat menjadi pendengar yang baik.
§   Dalam diskusi kelompok, peserta didik  dapat bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok.

E.     Materi Pembelajaran
            Candi Borobudur secara keseluruhan terlihat sangat istimewa, baik dalam hal ukuran, tehnik penyusunan batu, maupun dari segi pemahatan relief dalam hal kwalitas maupun kwantitas, pemilihan jenis cerita, arca-arcanya dan sebagainya. Candi berdenah bujur sangkar dan secara keseluruhan berukuran 123 x 123 meter, tinggi asli (dengan chattra, yaitu bagian atas chaitya puncak) 42 m, tanpa chattra menjadi 31 meter.

            Candi terdiri atas 10 tingkatan, 6 tingkat di bawah berdenah bujur sangkar dengan catatan ukuran makin ke atas makin kecil, dan tingkat 7,8,9, berdenah hampir bundar, diakhiri oleh stupa puncak yang besar. Secara keseluruhan candi Borobudur berbentuk stupa, tetapi mempunyai struktur berundak teras.
            Candi borobur pada bagian bawah jika dilihat dari atas berbentuk seperti kubus dengan catatan tidak mengerucut.
  

Luas permukaan kubus.
Luas permukaan (L) kubus dengan panjang rusuk s adalah L= 6s2


F.     Metode Pembelajaran
Pendekatan materi      : Kontekstual
Metode pembelajaran  : LKS, diskusi, tanya jawab

G.    Media Pembelajaran
Papan tulis, contoh benda yang berbentuk kubus dan balok.

H.    Kegiatan Pembelajaran
a.       Kegiatan awal (5 menit)
·         Membuka pelajaran dengan salam dan berdoa bersama.
Apersepsi:
·         Siswa memberikan contoh-contoh benda riil dan ethnik yang ada di sekitar lingkungan sehari-hari siswa yang berkaitan dengan luas permukaan kubus.

b.      Kegiatan inti (15 menit)
·         Siswa membentuk beberapa kelompok, dimana setiap kelompok terdiri dari 3 orang.
·         Siswa berkumpul dengan kelompoknya dan mendiskusikan konstruksi dasar Candi Borobudur.
·         Setelah siswa menemukan konstruksi dasar Candi Borobudur, siswa mendiskusikan cara menemukan luas permukaannya.
·         Siswa menulis hasil diskusinya dalam kertas besar yang diberikan guru untuk mempresentasikan hasil diskusinya.
·         Kelompok yang presentasi dipilih secara acak melalui undian.

c.       Kegiatan penutup (5 menit)
·         Siswa membuat kesimpulan tentang luas permukaan kubus dan aplikasinya dalam konstruksi dasar Candi Borobudur.
·         Menutup pembelajaran dengan berdoa.
I.       Sumber
-          Endah Budi Rahayu, Dkk. 2008. Contextual Teaching and Leraning, Matematika Sekolah Menengah Pertama Kelas VII . Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. ( hal 172 – hal 203)
-          Dewi Nuharini, Tri Wahyuni. 2008. Matematika, Konsep dan Aplikasinya 2. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. ( hal 208 – hal 222 )
-          Nuniek Avianti Agus. 2008. Mudah Belajar Matematika. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. ( hal 183 – hal 1
J.      Penilaian
1.      Teknik                         : tes tulis dan lisan
2.      Bentuk instrument       : Presentasi kelompok

REFERENSI:
Akhmad Sudrajat. 2010. Tentang Pendidikan Karakter  dalam http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/ diakses tanggal 24 Juni 2012.
Timothy Wibowo dalam http://www.pendidikankarakter.com/kekuatan-karakter-bagi-masa-depan-anak/ diakses tanggal 24 Juni 2012.
_.2011.Artikel Pendidikan : Konsep Pendidikan Karakter.dalam http://www.majalahpendidikan.com/2011/05/artikel-pendidikan-konsep-pendidikan.html diakses tanggal 24 Juni 2012.
Catatan perkuliahan Ethnomathematics tanggal 29 Mei 2012 yang disampaikan oleh Dr.Marsigit,MA.