Nama : Riana Sinta Dewi
NIM : 09313244022
“ETHNOMATEMATIKA dan MATEMATIKA
SEKOLAH”
Kita belajar matematika tidak hanya
dari sekolah saja, tetapi juga dari lingkungan yang dipengaruhi budaya. Ethnomatematika
pertama kali diperkenalkan oleh D’Ambrosio (1984) dalam artikelnya berjudul
Ethnomathematics yang disampaikan pada pembukaan konferensi internasional
pendidikan matematika di Adelaide Australia, dan dalam jurnal (D’Ambrosio,
1985) berjudul Ethnomathematics and iits place in the history and pedagogy of
mathematics. Ethnomathematics diperkenalkan untuk menyebut bentuk matematika
yang berbeda dengan matematika sekolah sebagai akibat pengaruh kegiatan yang
ada di lingkungan yang dipengaruhi oleh budaya. Tokoh Ethnomatematika yang
lainnya adalah Terenzinha Nunes terkenal dengan Street Math atau matematika jalanan.
Kedua
tokoh ini memperkenalkan bahwa ada bentuk lain dari matematika yang sangat
berbeda dengan matematika di sekolah yang dikenal dengan istilah “ethnomathematics”. Ethnomatematika
dianggap sebagai bentuk matematika yang diakibatkan kegiatan di lingkungan yang
dikelilingi pengaruh budaya. Tujuan dari penggunaan matematika di lingkungan
yang dipengaruhi budaya berbeda dengan matematika di kelas yang penekananya
pada belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know about), belajar
melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be), belajar
bagaimana seharusnya belajar (learning to learn), dan belajar bersosialisasi
sesama teman (learning to live together).
Penggunaan matematika di luar
sekolah jelas berkaitan dengan lingkungan, misalnya membangun rumah, menukar
uang di Bank, menimbang hasil produksi, menjual dan membeli barang, dan
sebagainya. Penerapan matematika seperti ini sering sangat berbeda dengan matematika
yang dipelajari di sekolah. Dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di dapur
ibu-ibu sering mengukur isi dengan sendok atau cangkir, sedangkan di sekolah
mengukur isi secara khusus dengan liter atau meter kubik. Di samping itu
matematika dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai berbeda antara daerah
satu dengan lainnya misalnya dalam sistem numerasi atau alat-alat hitung yang
digunakan. Dan hal itu dikarenakan adanya perbedaan ethnik atau cuture antara
daerah satu dengan daerah lainnya.
Matematika sekolah sendiri berbeda
dengan matematika “ilmu” karena matematika sekolah membelajarkan anak tentang
matematika sehingga diperlukannya pembeda antara keduanya. Ebutt dan Striker
(Marsigit, 2003) mendefinisikan matematika sekolah, sebagai berikut:
1.
Matematika sebagai kegiatan
penelusuran pola dan hubungan
Sehingga
implikasi dari pandangan ini terhadap pembelajaran adalah : (1) memberi
kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola
untuk menentukan hubungan, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan
percobaan denga berbagai cara, (3) mendorong siswa untuk menemukan adanya
urutan, perbedaan, perbandingan, pengelompokan, dsb, (4) mendorong siswa
menarik kesimpulan umum, (5) membantu siswa memahami dan menemukan hubungan
antara pengertian satu dengan yang lainnya.
2. Matematika
sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan
Sehingga
implikasi dari pandangan ini terhadap pembelajaran adalah : (1) mendorong inisiatif
dan memberikan kesempatan berpikir berbeda, (2) mendorong rasa ingin tahu, keinginan
bertanya, kemampuan menyanggah dan kemampuan memperkirakan, (3) menghargai
penemuan yang diluar perkiraan sebagai hal bermanfaat daripada menganggapnya
sebagai kesalahan, (4) mendorong siswa menemukan struktur dan desain matematika,
(5) mendorong siswa menghargai penemuan siswa yang lainnya, (6) mendorong siswa
berfikir refleksif, dan (7) tidak menyarankan hanya menggunakan satu metode
saja.
3. Matematika
sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving)
Sehingga
implikasi dari pandangan ini terhadap pembelajaran adalah : (1) menyediakan lingkungan
belajar matematika yang merangsang timbulnya persoalan matematika, (2) membantu
siswa memecahkan persoalan matematika menggunakan caranya sendiri, (3) membantu
siswa mengetahui informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan matematika,
(4) mendorong siswa untuk berpikir logis, konsisten, sistematis dan mengembangkan
sistem dokumentasi/catatan, (5) mengembangkan kemampuan dan ketrampilan untuk
memecahkan persoalan, (6) membantu siswa mengetahui bagaimana dan kapan
menggunakan berbagai alat peraga/media pendidikan matematika seperti : jangka,
kalkulator, dsb.
4. Matematika
sebagai alat berkomunikasi
Sehingga
implikasi dari pandangan ini terhadap pembelajaran adalah : (1) mendorong siswa
mengenal sifat matematika, (2) mendorong siswa membuat contoh sifat matematika,
(3) mendorong siswa menjelaskan sifat matematika, (4) mendorong siswa
memberikan alasan perlunya kegiatan matematika, (5) mendorong siswa membicarakan
persoalan matematika, (6) mendorong siswa membaca dan menulis matematika, (7)
menghargai bahasa ibu siswa dalam membicarakan matematika.
Ebutt
dan Striker juga mendefinisikan karakter subjek didik agar dapat mengembangkan
potensi peserta didik secara optimal (Marsigit, 2003), yaitu :
1.
Murid akan mempelajari matematika
jika mereka mempunyai motivasi
Sehingga
implikasi pandangan ini bagi usaha guru adalah : (1) menyediakan kegiatan yang
menyenangkan, (2) memperhatikan keinginan siswa, (3) membangun pengertian
melalui apa yang ketahui oleh siswa, (4) menciptakan suasana kelas yang
mendukung kegiatan belajar, (5) memberikan kegiatan yang sesuai dengan tujuan
pembelajaran, (6) memberikan kegiatan yang menantang, (7) memberikan kegiatan
yang memberikan harapan keberhasilan, (8) menghargai setiap pencapaian siswa.
2. Murid
mempelajari matematika dengan caranya sendiri
Sehingga
implikasi pandangan ini adalah: (1) siswa belajar dengan cara yang berbeda dan
dengan kecepatan yang berbeda, (2) tiap siswa memerlukan pengalaman tersendiri
yang terhubung dengan pengalamannya di waktu lampau, (3) tiap siswa mempunyai
latar belakang sosial-ekonomi-budaya yang berbeda. Oleh karena itu guru perlu:
(1) mengetahui kelebihan dan kekurangan para siswanya, (2) merencanakan
kegiatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, (3) membangun pengetahuan
dan ketrampilan siswa baik yang dia peroleh di sekolah maupun di rumah, (4)
menggunakan catatan kemajuan siswa (assessment).
3. Murid
mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan
temannya
Sehingga
implikasi pandangan ini bagi usaha guru adalah: (1) memberikan kesempatan
belajar dalam kelompok untuk melatih kerjasama, (2) memberikan kesempatan
belajar secara klasikal untuk memberi kesempatan saling bertukar gagasan, (3)
memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatannya secara mandiri, (4)
melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan tentang kegiatan yang akan
dilakukannya, dan (5) mengajarkan bagaimana cara mempelajari matematika.
4. Murid
memerlukan konteks dan situasi yang berbeda-beda dalam mempelajari matematika
Sehingga
implikasi pandangan ini bagi usaha guru adalah: (1) menyediakan dan menggunakan
berbagai alat peraga, (2) memberi kesempatan belajar matematika di berbagai
tempat dan keadaan, (3) memberikan kesempatan menggunakan matematika untuk
berbagai keperluan, (4) mengembangkan sikap menggunakan matematika sebagai alat
untuk memecahkan problematika baik di sekolah maupun di rumah, (5) menghargai sumbangan
tradisi, budaya dan seni dalam pengembangan matematika, dan (6) membantu siswa
menilai sendiri kegiatan matematikanya.
Dengan
melihat karakteristik siswa belajar matematika kita dapat menghubungkan
matematika sekolah dengan ethnomatematika. Karena ternyata dengan menghubungkan
matematika dan kehidupan sehari – hari siswa (sebagai konteks) maka siswa akan
lebih mudah menerima pembelajaran dan lebih termotivasi. Siswa juga dapat
mempelajari matematika dengan caranya sendiri sehingga matematika akan berbekas
dengan sendirinya karena matematika ada di lingkungan sekitarnya.
Referensi:
Douglass A.
Groows, A.D, (1992). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning
.New York tahun: Macmillan
Marsigit. 2003. Pembelajaran Matematika Berdasarkan Kurikulum
Berbasis Kompetensi Di Smk. Disampaikan Pada Penataran
Kurikulum Matematika Berbasis Kompetensi Untuk SMK
di BPG
Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment